Jakarta, GK.com — Aroma busuk yang tercium dari balik pintu kamar kost di Medan Timur bukan sekadar tanda jasad yang membusuk. Ia adalah pintu gerbang menuju kisah kelam yang terjalin antara dua kakak-beradik yang mengaku sebagai pasangan kekasih. Mereka membungkus jasad bayi dalam plastik dan menyimpannya begitu saja. Namun kisah tak berhenti di sana.
Dari penelusuran polisi, keduanya rupanya bagian dari komunitas daring yang menyebut dirinya Fantasi Sedarah—satu dari sejumlah grup media sosial yang secara terang-terangan merayakan penyimpangan seksual berbasis inses dan pornografi anak. Grup ini, bersama komunitas sejenis seperti Suka Duka, telah lama bersembunyi di balik algoritma Facebook yang rumit dan celah moderasi yang lemah.
Kasus ini membuka mata publik. Dunia maya yang semestinya menjadi ruang berbagi, justru menjadi tempat menyemai kekerasan dan penyimpangan.
Terorganisasi
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri bersama Polda Metro Jaya bergerak cepat. Dalam operasi serentak di Pulau Jawa dan Sumatera, mereka menangkap enam orang—mulai dari admin hingga anggota aktif. Barang bukti digital berupa video, foto, dan perangkat elektronik disita.
“Kami telusuri dari patroli rutin siber. Grup-grup itu bukan hanya tempat berbagi fantasi, tapi juga jadi ruang distribusi konten menyimpang,” kata Kabag Penum Divhumas Polri, Kombes Pol Erdi A. Chaniago, di Jakarta, Rabu (21/5/2025).
Beberapa unggahan, lanjut Erdi, bahkan secara terang-terangan memuat pornografi anak. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: seberapa banyak lagi komunitas sejenis yang beroperasi diam-diam di jagat daring?
Permulaan
Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menegaskan, respons cepat Polri perlu diapresiasi. Namun, ia menilai ini baru permulaan. “Harus ditelusuri sampai ke akar. Jangan berhenti di enam orang,” ujarnya di Jakarta, Rabu.
Ia juga mendorong agar kanal pelaporan masyarakat diperkuat. Tanpa partisipasi publik, ruang digital akan tetap jadi tempat persembunyian nyaman bagi para pelaku kekerasan seksual. “Kalau dibiarkan, ini bisa dianggap normal. Dan itu bahaya besar,” katanya.
Kisah di balik grup seperti Fantasi Sedarah adalah cermin dari sisi gelap media sosial: algoritma yang menyekat, moderasi yang lalai, dan ruang diskusi yang dibiarkan tanpa batas moral. Dunia maya, seperti yang terlihat dari kasus ini, bukanlah dunia terpisah. Ia bisa menyeberang ke dunia nyata—dengan konsekuensi nyata, luka nyata, dan korban nyata.
Polri menyatakan akan terus meningkatkan patroli siber. Namun, pertempuran melawan jaringan penyimpangan digital tak bisa hanya mengandalkan aparat. Ia butuh partisipasi warga. Butuh kesadaran kolektif bahwa di balik setiap unggahan yang menyimpang, mungkin ada nyawa yang terancam. Seperti bayi dalam plastik itu—ia tak pernah memilih untuk lahir di tengah fantasi kelam. (hdm)