Bandung, GK.com – Senyumnya tidak berubah, begitu juga riasan wajahnya yang nyaris tanpa cela. Namun hari itu, ada yang berbeda dari Lisa Mariana—selebgram dengan lebih dari 1,5 juta pengikut di Instagram—saat melangkah masuk ke ruang mediasi di Pengadilan Negeri Bandung. Ia mengenakan busana hitam dari kepala hingga kaki, dengan satu detail yang mencolok: peniti berukuran jumbo tersemat di lengannya.
“Buat tolak bala,” ujarnya santai, sembari tersenyum ke arah kamera.
Rabu (4/6/2025) pagi itu, Lisa menghadiri sidang mediasi melawan mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dalam perkara perdata terkait pengakuan dan hak identitas anak. Sidang yang berlangsung tertutup itu tidak menghasilkan kesepakatan. Kuasa hukum Lisa, Markus Nababan, menyebut mediasi deadlock. “Tergugat tidak hadir. Sesuai Perma 1/2016, ini bisa dianggap tidak beritikad baik,” kata Markus. “Kami tanya, sibuknya sibuk apa?”
Ridwan Kamil, atau yang akrab disapa Emil, memang tak hadir. Ia diwakili kuasa hukumnya, Muslim Jaya Butar Butar. Namun alasan ketidakhadiran Emil yang disebut karena pekerjaan, dinilai Markus tidak relevan. “Dia bukan pejabat publik lagi. Kalau memang arsitek, mestinya bisa tunjukkan surat tugas proyek,” katanya.
Lisa sendiri terlihat lebih tenang dibanding sidang-sidang sebelumnya. Ia mengaku kondisinya jauh lebih baik setelah menjalani operasi beberapa waktu lalu. “Sekarang terasa lebih fit,” ucapnya.
Gugatan Lisa bukan perkara ringan. Dalam sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Bandung, selebgram berusia 32 tahun itu menuntut ganti rugi materiil dan immateriil senilai total Rp16,6 miliar. Ia juga meminta majelis hakim menyita rumah Emil di kawasan Ciumbuleuit bila sang tergugat tak memenuhi putusan nanti, plus denda harian Rp10 juta jika tak patuh.
Namun tim kuasa hukum Lisa menolak membeberkan isi gugatan secara detail. “Masih tahap mediasi, belum bisa kami sampaikan ke publik,” kata Markus. Ia menegaskan bahwa kliennya tidak sedang mencari sensasi. “Ini soal hak identitas anak.”
Lisa juga memilih tak banyak bicara ketika ditanya apakah ia kecewa Emil tak hadir di persidangan. “Enggak, ini proses hukum. Terima kasih,” ujarnya singkat.
Kasus ini bukan yang pertama menyentuh sisi personal seorang tokoh publik yang dulunya pejabat negara. Namun, kehadiran figur seperti Lisa—dengan gaya flamboyan dan narasi publik yang rapi di media sosial—membuat perkara ini tak sekadar hukum, melainkan juga panggung opini.
Sidang selanjutnya dijadwalkan dalam waktu dekat. Mediasi boleh gagal, tapi gugatan jalan terus. Seperti peniti jumbo yang menempel di lengan Lisa, perkara ini masih menusuk tajam ke jantung perdebatan: siapa yang berhak atas pengakuan? (hdm)